Sejarah Desa Wadung

Kisah Ketangguhan di Kaki Bukit Katu
 

Di kaki Bukit Katu yang hijau di Malang, tersembunyi sebuah desa bernama Wadung. Nama itu diambil dari pohon  Wadung  yang dulu tumbuh subur di sana. Konon, buahnya sangat pahit tak termakan, tapi kayunya amat kuat dan akarnya mencengkeram tanah dengan kokoh—mirip semangat warga desa yang pantang menyerah.

Dahulu, Wadung adalah hutan lebat yang dianggap "angker". Tapi sekelompok pionir pemberani pimpinan seorang bernama  Saridho melihat potensinya. Dengan kapak dan doa, mereka membuka lahan (bedah kerawangan)  untuk membangun pemukiman. Mereka bekerja keras menebas semak, membangun rumah sederhana, dan mengolah tanah berbatu. Ketangguhan dan kerja sama  menjadi modal utama mereka.

Masyarakat Wadung dikenal teguh memegang prinsip. Kehidupan di lereng bukit mengajarkan mereka  kesederhanaan dan kesabaran. Tapi yang paling mereka junjung tinggi adalah nilai-nilai Islam. Sejak awal, Wadung dibangun dengan landasan iman. Masjid menjadi pusat kegiatan, dan gotong royong dalam kebaikan adalah kebiasaan turun-temurun. Tak heran hingga kini, Wadung tetap 100% muslim dengan tradisi keagamaan yang kental.

Kisah heroik datang di era 1825–1830. Dua tokoh penting Mbah H. Mochammad Sholeh dan Mbah H. Abdul Syukur tiba di Wadung. Mereka adalah mantan pejuang Pangeran Diponegoro yang mendapat amanat suci: “Sebarkanlah ilmu dan ajaran Islam ke seluruh penjuru!”  Kedatangan mereka membawa semangat baru. Mereka mendirikan langgar, mengajarkan Al-Qur’an, dan mengajak warga membangun desa dengan prinsip "Iman, Ilmu, Amal". Wadung pun berkembang menjadi desa yang mandiri dan religius.

Di tengah desa, ada pohon beringin tua yang menjadi saksi sejarah. Di bawah naungannya, warga berkumpul untuk musyawarah, merayakan panen, atau sekadar beristirahat. Pohon itu—yang akarnya menyatu dengan tanah makam leluhur—dirawat sebagai  penanda kesinambungan generasi, bukan hal mistis. Setiap kali ada masalah, warga selalu ingat pesan Mbah Saridho: “Bersatu seperti akar Wadung, kuat menghadapi badai.” 

Kini, Desa Wadung tetap teguh di Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang. Warisan para pendahulunya hidup dalam  semangat gotong royong, ketekunan bertani, dan kecintaan pada ilmu agama. Setiap anak diajari sejarah desa: bagaimana leluhur mereka mengubah hutan menjadi rumah, dan bagaimana keteguhan hati serta iman mampu mewariskan kehidupan yang bermakna.